Rabu, 18 September 2019

KEPEDULIAN SOSIAL



KEPEDULIAN SOSIAL
(Merawat Anak Yatim)


وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
QS. Al-An'am : 152

A.    Hadis tentang Anak Yatim
Hadis I:

Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah saw bersabda: Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim akan berada di surga seperti ini –Rasulullah bersabda demikian dengan sambil merekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR Bukhari dan Turmudzi).

Hadis II:

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan. Para sahabat bertanya Apa dosa-dosa itu? Rasulullah menjawab: Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina terhadap orang-orang perempuan yang menjaga kehormatannya.

B.     Makna Hadis tentang Menanggung Anak Yatim
Hadis Pertama:
Hadis pertama menjelaskan tentang keistimewaan orang yang mencurahkan kasih sayangnya kepada anak yatim. Dijelaskan bahwa, Rasulullah SAW memberikan jaminan kepada orang yang menanggung hidup anak yatim akan bersama nanti di surga dengan menggunakan jari tengah dan telunjukkan yang didempetkan. Seolah tidak ada jarak antara Rasulullah SAW dengan orang yang menanggung hidup yatim di surga nanti.
Al-Ahwadzi dalam menjelaskan hadis di atas mengatakan bahwa yang dimaksud kata Kafilul Yatim adalah orang mengurus keperluan anak yatim dan yang mendidiknya. Dalam hadis di atas, Rasulullah memberikan dorongan agar kita mau menjamin dalam arti yang tidak hanya membesarkan secara fisik, tetapi mencakup berbagai hal yakni memelihara, membiayai kebutuhannya, mendidiknya, dan mengatur kemaslahatannya.
Dalam KKBI, disebutkan bahwa anak yatim adalah anak yang tidak mempunyai ayah atau ibu karena ditinggal mati. Sedangkan menurut Al-Khuly, “Yatim” adalah anak yang ditinggal mati ayahnya. Dalam Bahasa Arab, kata yatim diperuntukkan hanya bagi anak yang ditinggal mati ayahnya (Al-Jurjani), karena nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah, bukan ibu.
Perkembangan kehidupan anak tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan orang tua. Akan tetapi perkembangan kepribadian anak dipengaruhi juga oleh adanya lingkungan yang baik dan pendidikan yang baik pula. Ini menunjukkan bahwa ketika orang tua tidak ada (meninggal), maka keberadaan lingkungan yang baik dan pendidikan yang baik sangat diperlukan untuk mendukung tumbuhkembang anak yang ditinggal mati ayahnya.
Sebagai contoh Rasulullah SAW ketika lahir sudah menjadi yatim, karena ayahnya wafat sejak ia masih dalam kandungan. Dan 6 tahun setelah itu ibunya wafat menyusul kepergian ayahnya. Akan tetapi Rasulullah SAW hidup di lingkungan yang baik bahkan termasuk kalangan terhormat dan disegani oleh kaumnya yaitu Abdul Muththalib (kakeknya). Kemudian Abu Thalib (pamannya) seorang pedagang yang memberi pengalaman berharga sebagai calon pemimpin.
Ini menunjukkan bahwa, ketika ada anak yatim maka baik buruknya perkembangan masa depannya tergantung pada tempat ia tinggal (lingkungan) dan juga lingkungan pendidikan.
Anak yatim sebagaimana disebutkan di atas adalah anak yang ditinggal mati ayahnya (yatim biologis), akan tetapi terdapat pula anak yang orang tuanya tidak meninggal akan tetapi tidak memberikan kasih saying kepada anaknya sebagaimana harusnya menjadi orang tua. Anak yang demikian disebut yatim psikologis. Anak yatim jenis yang kedua ini belum begitu mendapat perhatian sebagaimana terhadap anak yatim biologis.
Hadis kedua:
Dalam hadis kedua, dijelaskan bahwa memakan harta yatim termasuk dosa besar. Karena pada dasarnya anak yatim harusnya diberi dan dibantu. Maka ketika harta bendanya dimakan oleh orang, wajar jika perbuatan itu disamakan dengan dosa-dosa besar lainnya.
Dalam pengurusan anak yatim dalam jumlah besar (seperti panti asuhan), tentu dibolehkan mendapat jatah dari harta anak yatim sepatutnya saja. Hal ini digambarkan dalam QS. An-Nisa ayat 6:
“…dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) kaya, maka hendaklah ia menahan diri (tidak memakan harta anak yatim) dan barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) miskin, maka bolehlah memakan harta itu menurut yang patut (bi al-ma’ruf) … (Al-Nisa:6)
Dan ditegaskan dalam ayat lain, QS. Al-Anam ayat 152:
"Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat), hingga sampai ia dewasa…" (al-An’am: 152).

Dengan demikian, dibolehkan mendapatkan bagian dari harta anak yatim sepatutnya saja dan harus dengan cara yang baik dan tidak menyakiti anak yatim.

C.     Ancaman Bagi Orang Yang Menyaikti Anak Yatim
Dalam QS. Al-Ma’un Allah berfirman:
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang-orang yang menindas anak-anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang-orang miskin”. (al-Ma’un ayat 1-3).
Tiga ayat dalam surat Al Maun tersebut, menjadi contoh serta gambaran yang jelas mengenai hakikat keberagamaan. Firman Allah itu, dimulai dengan pertanyaan Allah: Adakah engkau melihat atau adakah engkau tahu siapakah pendusta-pendusta agama itu? Kemudian Allah menegaskan sebagai jawabannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mereka yang menindaskan anak-anak yatim dan orang-orang tidak memberi makan kepada orang-orang miskin.
Dengan demikian mengabaikan kebaikan mereka (anak yatim) berarti mengabaikan agama, sebaliknya memuliakan mereka menjadi sifat-sifat orang yang beragama.
Terhadap anak yatim pun tidak dibolehkan bersifat kasar. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Adapun terhadap anak-anak yatim maka janganlah kamu bersikap kasar terhadapnya dan adapun orang yang meminta-minta maka janganlah engkau usir (Surah Adh Dhuha Ayat 9-10).

Orang pertama yang bertanggungjawab mengurus dan membiayai hidup anak yatim adalah ahli waris orang tuanya. Jika mereka tidak mampu karena kemiskinan, maka orang kayalah yang diwajibkan untuk memberi bantuan. Dan ketika orang kaya tidak mau, maka masyarakatlah yang harus mengurusnya sampai ia (anak yatim) mandiri. Perlu diingat bahwa Rasulullah SAW pernah berrsabda: “Rumah-rumah yang dicintai di sisi Allah ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim yang dimuliakannya”.



D.    Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Secara umum fungsi hadis adalah sebagai penjelas (bayân) terhadap makna al-Quran yang umum, global dan mutlak. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah al-Nahl/16 : 44
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”,
Secara lebih rinci fungsi penjelasan (bayân) Hadis terhadap al-Quran, dikelompokkan sebagai berikut:
a.      Bayân Taqrîr : Hadis sebagai penguat (taqrîr/ta’kid) keterangan al-Quran. Artinya Hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Quran. Seperti hadis-hadis tentang kepedulian terhadap anak yatim yang sudah diuraikan di atas menjadi penguat terhadap ayat-ayat al-Quran yang membahas hal yang sama.
b.      Bayân Tafsîr: Hadis sebagai penjelas (tafsîr) terhadap al-Quran dan fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya. Bayan Tafsir ini dibagi menjadi 3:
1. Tafsîl al-Mujmal (memperinci yang gelobal): Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Quran yang masih global. Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam al-Quran hanya diterangkan secara global dirikanlah shalat tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam, berapa raka`at, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya.
2. Takhshîsh al-`Amm (mengecualikan/ mengkhususkan): Hadis mengkhususkan (mengecualikan) ayat-ayat al-Quran yang umum. Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam QS. Al-Nisa/4: 10
“ Allah mensyari`atkan bagi mu tentang (bagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang perempuan…”
Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris, baik anak-lelaki, anak perempuan, satu, dan atau banyak, orang tua (bapak dan ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada dan seterusnya. Ayat tesebut bersifat umum, dan dikhususkan atau dikecualikan peruntukan waris itu oleh hadis, yakni dikecualikan terhadap peninggalan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.
3.  Taqyîd al-Muthlaq: Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat al-Quran. Artinya al-Quran keterangannya secara mutlak, kemudian ditakhshish dengan Hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayân taqyîd. Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Mâidah ayat 38:
“Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka…”
Tangan dalam ayat tersebut tidak dijelaskan batasnya untuk dipotong sebagai hukuman atas pencuri. Dan Nabi memerintahkan agar percuri tersebut dipotong pada pergelangan tangan.
c.       Bayân Tasyrî`î; Hadis menciptakan hukum syari`at (tasyri`) yang belum dijelaskan oleh al-Quran. Misalnya keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang yang bertelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibik dan paman wanitanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belajar Dari Rumah

MEMAKSIMALKAN BELAJAR DARI RUMAH DALAM KETERBATASAN BDR atau belajar dari rumah muncul sebagai respon atas wabah Covid-19 yang melan...