KEPEDULIAN
SOSIAL
(Merawat Anak Yatim)
(Merawat Anak Yatim)
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ
بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا
وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
QS. Al-An'am : 152
A. Hadis tentang Anak Yatim
Hadis I:
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah saw bersabda: Saya dan orang yang
menanggung hidup anak yatim akan berada di surga seperti ini –Rasulullah
bersabda demikian dengan sambil merekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
(HR Bukhari dan Turmudzi).
Hadis II:
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Jauhilah tujuh
dosa besar yang membinasakan”. Para sahabat
bertanya “Apa dosa-dosa itu”? Rasulullah
menjawab: “Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali dengan alasan yang benar, memakan
riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina
terhadap orang-orang perempuan yang menjaga kehormatannya”.
B.
Makna Hadis tentang Menanggung Anak Yatim
Hadis
Pertama:
Hadis
pertama menjelaskan tentang keistimewaan orang yang mencurahkan kasih sayangnya
kepada anak yatim. Dijelaskan bahwa, Rasulullah SAW memberikan jaminan kepada
orang yang menanggung hidup anak yatim akan bersama nanti di surga dengan
menggunakan jari tengah dan telunjukkan yang didempetkan. Seolah tidak ada
jarak antara Rasulullah SAW dengan orang yang menanggung hidup yatim di surga
nanti.
Al-Ahwadzi
dalam menjelaskan hadis di atas mengatakan bahwa yang dimaksud kata “Kafilul Yatim” adalah orang mengurus keperluan anak yatim dan yang mendidiknya. Dalam hadis di atas, Rasulullah
memberikan dorongan agar kita mau menjamin dalam arti yang tidak hanya
membesarkan secara fisik, tetapi mencakup berbagai hal yakni memelihara,
membiayai kebutuhannya, mendidiknya, dan mengatur kemaslahatannya.
Dalam
KKBI, disebutkan bahwa anak yatim adalah anak yang tidak
mempunyai ayah atau ibu karena ditinggal mati. Sedangkan menurut Al-Khuly,
“Yatim” adalah anak yang ditinggal mati ayahnya. Dalam Bahasa Arab, kata yatim
diperuntukkan hanya bagi anak yang ditinggal mati ayahnya (Al-Jurjani),
karena nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah, bukan ibu.
Perkembangan
kehidupan anak tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan orang tua. Akan tetapi
perkembangan kepribadian anak dipengaruhi juga oleh adanya lingkungan yang baik
dan pendidikan yang baik pula. Ini menunjukkan bahwa ketika orang tua tidak ada
(meninggal), maka keberadaan lingkungan yang baik dan pendidikan yang baik
sangat diperlukan untuk mendukung tumbuhkembang anak yang ditinggal mati
ayahnya.
Sebagai
contoh Rasulullah SAW ketika lahir sudah menjadi yatim, karena ayahnya wafat
sejak ia masih dalam kandungan. Dan 6 tahun setelah itu ibunya wafat menyusul
kepergian ayahnya. Akan tetapi Rasulullah SAW hidup di lingkungan yang baik
bahkan termasuk kalangan terhormat dan disegani oleh kaumnya yaitu Abdul
Muththalib (kakeknya). Kemudian Abu Thalib (pamannya) seorang pedagang yang
memberi pengalaman berharga sebagai calon pemimpin.
Ini
menunjukkan bahwa, ketika ada anak yatim maka baik buruknya perkembangan masa
depannya tergantung pada tempat ia tinggal (lingkungan) dan juga lingkungan
pendidikan.
Anak
yatim sebagaimana disebutkan di atas adalah anak yang ditinggal mati ayahnya
(yatim biologis), akan tetapi terdapat pula anak yang orang tuanya tidak
meninggal akan tetapi tidak memberikan kasih saying kepada anaknya sebagaimana
harusnya menjadi orang tua. Anak yang demikian disebut yatim psikologis. Anak
yatim jenis yang kedua ini belum begitu mendapat perhatian sebagaimana terhadap
anak yatim biologis.
Hadis kedua:
Dalam hadis kedua, dijelaskan bahwa memakan harta yatim termasuk dosa
besar. Karena pada dasarnya anak yatim harusnya diberi dan dibantu. Maka ketika
harta bendanya dimakan oleh orang, wajar jika perbuatan itu disamakan dengan
dosa-dosa besar lainnya.
Dalam pengurusan anak yatim dalam jumlah besar (seperti panti asuhan),
tentu dibolehkan mendapat jatah dari harta anak yatim sepatutnya saja. Hal ini
digambarkan dalam QS. An-Nisa ayat 6:
“…dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan
dan janganlah kamu tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa.
Barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) kaya, maka hendaklah ia
menahan diri (tidak memakan harta anak yatim) dan barangsiapa (di antara
pemelihara anak yatim itu) miskin, maka bolehlah memakan harta itu menurut yang
patut (bi al-ma’ruf) … (Al-Nisa:6)
Dan ditegaskan dalam ayat lain, QS. Al-An’am ayat 152:
"Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat), hingga sampai ia dewasa…" (al-An’am: 152).
Dengan
demikian, dibolehkan mendapatkan bagian dari harta anak yatim sepatutnya saja
dan harus dengan cara yang baik dan tidak menyakiti anak yatim.
C. Ancaman Bagi Orang Yang Menyaikti Anak
Yatim
Dalam QS.
Al-Ma’un Allah berfirman:
“Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama, itulah orang-orang yang menindas anak-anak
yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang-orang miskin”. (al-Ma’un ayat 1-3).
Tiga ayat dalam surat Al Ma’un tersebut,
menjadi contoh serta gambaran yang jelas
mengenai hakikat keberagamaan. Firman Allah itu, dimulai dengan pertanyaan Allah: “Adakah engkau
melihat atau adakah engkau tahu siapakah
pendusta-pendusta agama itu?” Kemudian Allah menegaskan sebagai jawabannya.
Sesungguhnya, yang demikian itu
adalah mereka yang menindaskan anak-anak yatim dan orang-orang tidak memberi
makan kepada orang-orang miskin.
Dengan
demikian mengabaikan kebaikan mereka (anak yatim) berarti mengabaikan agama,
sebaliknya memuliakan mereka menjadi sifat-sifat orang yang beragama.
Terhadap
anak yatim pun tidak dibolehkan bersifat kasar. Hal ini ditegaskan oleh Allah
SWT dalam firman-Nya:
“Adapun terhadap anak-anak yatim maka janganlah kamu
bersikap kasar terhadapnya dan adapun orang yang meminta-minta maka janganlah
engkau usir (Surah Adh Dhuha Ayat 9-10).
Orang
pertama yang bertanggungjawab mengurus dan membiayai hidup anak yatim adalah
ahli waris orang tuanya. Jika mereka tidak mampu karena kemiskinan, maka orang
kayalah yang diwajibkan untuk memberi bantuan. Dan ketika orang kaya tidak mau,
maka masyarakatlah yang harus mengurusnya sampai ia (anak yatim) mandiri. Perlu
diingat bahwa Rasulullah SAW pernah berrsabda: “Rumah-rumah yang dicintai di sisi Allah
ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim yang dimuliakannya”.
D. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Secara umum fungsi
hadis adalah sebagai penjelas (bayân) terhadap makna al-Qur’an yang umum,
global dan mutlak. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah al-Nahl/16 : 44
“Dan Kami turunkan kepadamu
Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”,
Secara
lebih rinci fungsi penjelasan (bayân) Hadis terhadap al-Qur’an, dikelompokkan
sebagai berikut:
a.
Bayân Taqrîr : Hadis sebagai penguat (taqrîr/ta’kid) keterangan al-Qur’an. Artinya Hadis
menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Qur’an. Seperti hadis-hadis tentang kepedulian terhadap anak
yatim yang sudah diuraikan di atas menjadi penguat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang membahas
hal yang sama.
b.
Bayân Tafsîr: Hadis sebagai penjelas (tafsîr) terhadap al-Qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya. Bayan Tafsir ini dibagi
menjadi 3:
1. Tafsîl al-Mujmal (memperinci yang gelobal): Hadis memberi penjelasan secara terperinci
pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih global. Misalnya perintah shalat pada
beberapa ayat dalam al-Qur’an hanya
diterangkan secara global “dirikanlah shalat” tanpa disertai
petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam, berapa raka`at,
kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya.
2. Takhshîsh al-`Amm (mengecualikan/ mengkhususkan): Hadis mengkhususkan (mengecualikan)
ayat-ayat al-Qur’an yang umum.
Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam QS. Al-Nisa’/4: 10
“ Allah
mensyari`atkan bagi mu tentang (bagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang perempuan…”
Kandungan ayat di atas
menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris, baik anak-lelaki, anak
perempuan, satu, dan atau banyak, orang tua (bapak dan ibu) jika ada anak atau
tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada dan seterusnya. Ayat tesebut
bersifat umum, dan dikhususkan atau dikecualikan peruntukan waris itu oleh
hadis, yakni dikecualikan terhadap peninggalan para Nabi, berlainan agama, dan
pembunuh.
3. Taqyîd al-Muthlaq: Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat al-Qur’an. Artinya al-Qur’an
keterangannya secara mutlak, kemudian ditakhshish dengan Hadis yang khusus.
Sebagian ulama menyebut bayân taqyîd. Misalnya firman Allah dalam QS.
Al-Mâidah ayat 38:
“Pencuri lelaki
dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka…”
Tangan dalam
ayat tersebut tidak dijelaskan batasnya untuk dipotong sebagai hukuman atas
pencuri. Dan Nabi memerintahkan agar
percuri tersebut dipotong pada pergelangan tangan.
c.
Bayân Tasyrî`î; Hadis menciptakan hukum syari`at (tasyri`) yang belum
dijelaskan oleh al-Qur’an. Misalnya
keharaman makan daging keledai ternak, keharaman
setiap binatang yang bertelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama
bibik dan paman wanitanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar