PENDEKATAN
DAN METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A.
Konsep Tafsir Bi al Ma’tsur, Tafsir Bi al-Ra’yi,
Tafsir Isyari
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi
al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan pada penjelasan-penjelasan
al-Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada Sunnah, hadits maupun
atsar, bahkan sebuah ayat al-Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang lain. Tafsir bi al-Ma’tsur disebut juga Tafsir bi al-Riwayah karena
didasarkan pada periwayatan-periwayatan.
Pendekatan Tafsir
bi al Ma’tsur:
a.
Penafsiran
ayat dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ayat
al-Qur’an ditafsirkan oleh ayat setelahnya atau bisa juga berada di surat yang
berbeda. Misalnya, pada surat ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tenang
ketauhidan Allah swt, ditafsirkan oleh ayat kedua, ketiga dan keempat. Ayat
pertama juga ditafsirkan oleh ayat lain pada surat yang berbeda, yaitu QS.
Al-Hasyr ayat 22-24:
هُوَ اللَّهُ
الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ
الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (22)
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ
الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (23)
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ
الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ(24)
Artinya :
Dialah Allah Yang
tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia,
Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang
Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala
Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah
Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul
Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).
b.
Penafsiran Ayat Al-Qur’an dengan Hadis Nabi SAW
Ayat-ayat
al-Qur’an lebih banyak bersifat mujmal (global), oleh sebab itu butuh untuk
ditafsirkan. Contoh:
QS.
Al-Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan
rukuklah bersama orang-orang yang
ruku’
Ayat
tersebut ditafsirkan oleh hadis berikut:
Artinya: Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan orang yang lebih tua di antara kalian menjadi imam.
c.
Penafsiran ayat al-Qur’an dengan keterangan
sahabat-sahabat Nabi SAW.
Keterangan
sahabat-sahabat Nabi SAW dipakai menjadi rujukan karena mereka adalah
orang-orang yang dekat bersama Nabi SAW dan sangat memahami situasi dan kondisi
ketika al-Qur’an diturunkan.
Contoh,
tafsir terhadap QS. Al-Baqarah ayat 3:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…
Menurut Ibnu Abbas sebagaimana
diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalhah bahwa tafsir dari kata yukminuuna
adalah yushoddiquuna (membenarkan). Dan menurut Makmar
diriwayatkan dari az-Zuhri yang dimaksud yukminuuna adalah iman yang
disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Jakfar Ar-Razi dari Rabi’ bin Anas yang dimaksud dengan
yukminuuna adalah yakhsuauna artinya takut.
Kitab tafsir bil-Ma’tsur antara lain: Kitab Tafsir
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir
at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al Adzim karya Ibnu
Katsir.
2.
Tafsir Bi al-Ra’yi atau Tafsir bi Al-Dirayah
Al-Ra’yu
berarti pikiran atau nalar. Maka, tafsir bi al-Ra’yu adalah penafsiran seorang
mufassir yang diperoleh melalui hasil penalaran atau ijtihadnya, dan nalar
dijadikan sebagai sumber utamanya.
Tafsir bi al-Ra’yi
memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelbihannya antara lain:
a.
Mempunyai ruang lingkup yang luas
b.
Dapat mengapresiasi berbagai ide,
c.
Melihat dan memahami al-Qur’an secara mendalam dengan
melihat dari berbagai aspek.
Dan kelemahan tafsir bi al-Ra’yi adalah :
a.
Memberikan kesan Qur’an tidak utuh dan tidak konsisten
karena dijadikan sebagai petunjuk ayat bersifat parsial
b.
Menimbulkan kesan subyektif yang dapat menimbulkan
pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu
c.
Memungkinkan masuknya cerita-cerita israiliyat karena
kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.
Mufassir dengan Ra’yi di antaranya adalah Abdul
Qosim Mahmud al-Zamakhsari, penafsiran nalarnya didukung oleh
dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-Qur’an. Akan tetapi dia tidak
terikat dengan riwayat, ketika penafsirannya didukung adanya riwayat dia akan
mengambilknya dan ketika tidak ada riwayat dia tetap melakukan penafsirannya.
Mufassir lainnya adalah Sayyid Qutub
dengan kitab tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an, pada saat menjelaskan
al-Quran Surat al-Fatihah ayat 4;
Kata-kata “yang menguasai atau penguasa” membayangkan darjah
kekuasaan paling tinggi. “Hari pembalasan” ialah hari penentuan balasan di
akhirat. Banyak orang yang percaya uluhiyah Allah dan percaya bahwa Allah yang
menciptakan alam semesta, akan tetapi mereka tidak percaya kepada hari
pembalasan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS. Az-Zumar ayat 28:

Kemudian dalam QS. Qoof ayat 3:
Dari contoh tafsir di atas, menunjukkan bahwa mereka
(mufassir) tidak meninggalkan riwayat dan mereka tidak menggunakan nalar
semata. Kitab tafsir bi al-Ra’yi lainnya adalah : Tafsir Mafatih al-Ghaib
karya Fakhruddin Ar Razi dan Tafsir Anwar at Tanzil wa Asrar
at Ta’wil karya al-Baidhawi.
3.
Tafsir Isyari
Menurut
Bahasa berasal dari kata asyaraa-yusyaari-isyaaratan artinya memberi isyarat/
tanda, menunjukkan. Menurut istilah artinya: upaya untuk menjelaskan kandungan
Qur’an dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat tanpa
mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.
Menurut
Subhi al-Shalih, tafsir Isyari adalah menjelaskan kandungan al-Qur’an
melalui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Menurut
Quraisy Shihab pada tafsir Isyari terdapat upaya penarikan makna ayat
didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh lafazh ayat, di mana dalam benak
para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran, hal itu
dilakukan tanpa mengabaikan makna secara lafazh.
Syarat-syarat
diterimanya tafsir isyari adalah:
a.
Tidak
bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
b.
Penafsirannya
didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
c.
Penafsirannya
tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
d.
Penafsirannya
tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan
pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
e.
Penafsirannya
tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.
Contoh; Al Alusi menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 238:
Al Alusi menafsirkan kata
Shalat Wustha dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut:
Al-Alusi dalam hal ini melihat
shalat wusta dengan pendekatan sufistik.
B.
Analisis Klasifiksi dan Penerapan Tafsir bi al Ma’tsur,
Tafsir bi al Ra’yi, Tafsir Isyari.
Tafsir bi al Ma’tsur disepakati oleh
ahli tafsir sebagai rujukan yang paling kuat. Karena tafsir jenis ini
menghadirkan sumber-sumber yang diyakini sebagai sumber utama karena didasarkan
pada ayat ayat al-Qur’an, hadis nabi SAW dan riwayat para sahabat yang semasa
hidupnya dengan Rasul. Sedangkan tafsir bi al-Ra’yi (nalar) dan isyari
(isarat/tanda) memiliki kelemahan-kelemahan, yakni adanya subjektifitas dari
mufassir, dan tidak adanya control yang membatasi pemikiran atau nalar mufassir
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi tafsir jenis ini memiliki
kekhasan dalam menyajikan galian-galian hikmah dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan
ruang lingkup yang lebih luas dan mengapresiasi ide-ide dan memahami al-Qur’an
dari berbagai aspek.
C.
Konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
1. Metode Tahlili
Metode Tahlili adalah menjelaskan
ayat al-Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai
tata urutan dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan
masing-masing mufassir terhadap aspek-aspek yang ingin disampaikan. Misalnya
menjelaskan al-Qur’an disertai aspek qiraat, asbabun nuzul, munasabah, balagah,
hukum dll.
Contoh kitab
tafsir dengan metode tahlili adalah : Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya
Qurtubi, Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at
Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qur’an al
Karim karya at Tusturi. Berikut contohnya:
QS. Al Ahzab ayat 30:
Menurut ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan
dengan makna membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis itu maka
ungkapan pada ayat ini hanyalah andaikan dan tidak pasti terjadi. Dalam ayat
lain QS. Az-Zumar ayat 65:
Dan pada QS. Al-An’Am ayat 88:
Dan pada QS.
Az-Zukhruf ayat 81:
2. Metode Ijmali (Gllobal)
Metode ijmali adalah menjelaskan ayat
al-Qur’an dengan mengemukakan makna yang bersifat global dengan Bahasa yang
ringkas supaya mudah dipahami. Mufassir menjelaskan makna-makna pokoknya saja.
Contoh mufassir Jalaluddin Al-Sayuti dengan kitab tafsirnya Tafsir Jalalain.
Dan Muhammad Farid Wajdi dengan kitab tafsirnya Tafsir Al-Qur’an al ‘Adzim. Dan
kitab At Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al Buhus al-Islamiyah.
3. Metode Muqaran
(komparatif)
Metode Muqaran adalah menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an dengan membandingkannya dengan ayat-ayat lain yang memiliki
kedekatan atau kemiripan tema namun redaksi berbeda, atau memiliki kemiripan
redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks
hadis Nabi SAW, perkatan sahabat atau tabi’in. di samping itu juga mengkaji
pendapat ulama tafsir dan dengan membandingkan kitab-kitab tafsirnya. Bahkan
tafsir dengan muqarin juga bisa dengan membandingkan al-Qur’an dengan kitab
kitab samawi, injil taurat dan zabur.
4. Metode Maudhu’I
(thematic)
Metode
maudhu’I adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengambil suatu tema
tertentu. Langkah-langkah mufassir dengan metode maudhu’I adalah sbb:
a.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada
persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang
mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab
nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).
d.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e.
Melengkapi
pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan
antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad
(terikat), atau yang apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat
bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.
D.
Analisis
Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
Penerapan metode-metode tafsir di atas tidak bisa dipisahkan
atau mengandalkan satu metode saja. Dengan kata lain masing-masing metode tetap
akan dibutuhkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an karena mempermudah bagi
mufassir untuk menarik atau menggali makna yang terkandung dalam ayat-ayat
al-Qur’an. Oleh sebab itu, menggunakan satu metode saja tentu hasilnya tidak
akan maksimal. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan tafsir yang detail dan lengkap,
semua metode tafsir mutlak diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar