Selasa, 26 November 2019

METODE PENAFSIRAN AL-QUR'AN

PENDEKATAN DAN METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN

A.   Konsep Tafsir Bi al Ma’tsur, Tafsir Bi al-Ra’yi, Tafsir Isyari
1.      Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan pada penjelasan-penjelasan al-Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada Sunnah, hadits maupun atsar, bahkan sebuah ayat al-Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain. Tafsir bi al-Ma’tsur disebut juga Tafsir bi al-Riwayah karena didasarkan pada periwayatan-periwayatan.
Pendekatan Tafsir bi al Ma’tsur:
a.      Penafsiran ayat dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ayat al-Qur’an ditafsirkan oleh ayat setelahnya atau bisa juga berada di surat yang berbeda. Misalnya, pada surat ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tenang ketauhidan Allah swt, ditafsirkan oleh ayat kedua, ketiga dan keempat. Ayat pertama juga ditafsirkan oleh ayat lain pada surat yang berbeda, yaitu QS. Al-Hasyr ayat 22-24:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (22)
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (23)
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ(24)
Artinya :
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).
b.      Penafsiran Ayat Al-Qur’an dengan Hadis Nabi SAW
Ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak bersifat mujmal (global), oleh sebab itu butuh untuk ditafsirkan. Contoh:
QS. Al-Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku’
Ayat tersebut ditafsirkan oleh hadis berikut:
Artinya: Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan orang yang lebih tua di antara kalian menjadi imam.
c.      Penafsiran ayat al-Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi SAW.
Keterangan sahabat-sahabat Nabi SAW dipakai menjadi rujukan karena mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi SAW dan sangat memahami situasi dan kondisi ketika al-Qur’an diturunkan.
Contoh, tafsir terhadap QS. Al-Baqarah ayat 3:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…
Menurut Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalhah bahwa tafsir dari kata yukminuuna adalah yushoddiquuna (membenarkan). Dan menurut Makmar diriwayatkan dari az-Zuhri yang dimaksud yukminuuna adalah iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Jakfar Ar-Razi  dari Rabi’ bin Anas yang dimaksud dengan yukminuuna adalah yakhsuauna artinya takut.
Kitab tafsir bil-Ma’tsur antara lain: Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al Adzim karya Ibnu Katsir.

2.      Tafsir Bi al-Ra’yi atau Tafsir bi Al-Dirayah
Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar. Maka, tafsir bi al-Ra’yu adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalaran atau ijtihadnya, dan nalar dijadikan sebagai sumber utamanya.
Tafsir bi al-Ra’yi memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelbihannya antara lain:
a.      Mempunyai ruang lingkup yang luas
b.      Dapat mengapresiasi berbagai ide,
c.       Melihat dan memahami al-Qur’an secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek.
Dan kelemahan tafsir bi al-Ra’yi adalah :
a.      Memberikan kesan Qur’an tidak utuh dan tidak konsisten karena dijadikan sebagai petunjuk ayat bersifat parsial
b.      Menimbulkan kesan subyektif yang dapat menimbulkan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu
c.       Memungkinkan masuknya cerita-cerita israiliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.
Mufassir dengan Ra’yi di antaranya adalah Abdul Qosim Mahmud al-Zamakhsari, penafsiran nalarnya didukung oleh dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-Qur’an. Akan tetapi dia tidak terikat dengan riwayat, ketika penafsirannya didukung adanya riwayat dia akan mengambilknya dan ketika tidak ada riwayat dia tetap melakukan penafsirannya.
Mufassir lainnya adalah Sayyid Qutub dengan kitab tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an, pada saat menjelaskan al-Quran Surat al-Fatihah ayat 4;
Kata-kata “yang menguasai atau penguasa” membayangkan darjah kekuasaan paling tinggi. “Hari pembalasan” ialah hari penentuan balasan di akhirat. Banyak orang yang percaya uluhiyah Allah dan percaya bahwa Allah yang menciptakan alam semesta, akan tetapi mereka tidak percaya kepada hari pembalasan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS. Az-Zumar ayat 28:

          Kemudian dalam QS. Qoof ayat 3:


Dari contoh tafsir di atas, menunjukkan bahwa mereka (mufassir) tidak meninggalkan riwayat dan mereka tidak menggunakan nalar semata. Kitab tafsir bi al-Ra’yi lainnya adalah : Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin Ar Razi dan Tafsir Anwar at Tanzil wa Asrar at Ta’wil karya al-Baidhawi.
3.      Tafsir Isyari
Menurut Bahasa berasal dari kata asyaraa-yusyaari-isyaaratan artinya memberi isyarat/ tanda, menunjukkan. Menurut istilah artinya: upaya untuk menjelaskan kandungan Qur’an dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.
Menurut Subhi al-Shalih, tafsir Isyari adalah menjelaskan kandungan al-Qur’an melalui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Menurut Quraisy Shihab pada tafsir Isyari terdapat upaya penarikan makna ayat didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran, hal itu dilakukan tanpa mengabaikan makna secara lafazh.
Syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah:
a.      Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
b.      Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
c.      Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
d.      Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
e.      Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.
Contoh; Al Alusi menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 238:
Al Alusi menafsirkan kata Shalat Wustha dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut:
Al-Alusi dalam hal ini melihat shalat wusta dengan pendekatan sufistik.

B.   Analisis Klasifiksi dan Penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, Tafsir bi al Ra’yi, Tafsir Isyari.
     Tafsir bi al Ma’tsur disepakati oleh ahli tafsir sebagai rujukan yang paling kuat. Karena tafsir jenis ini menghadirkan sumber-sumber yang diyakini sebagai sumber utama karena didasarkan pada ayat ayat al-Qur’an, hadis nabi SAW dan riwayat para sahabat yang semasa hidupnya dengan Rasul. Sedangkan tafsir bi al-Ra’yi (nalar) dan isyari (isarat/tanda) memiliki kelemahan-kelemahan, yakni adanya subjektifitas dari mufassir, dan tidak adanya control yang membatasi pemikiran atau nalar mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi tafsir jenis ini memiliki kekhasan dalam menyajikan galian-galian hikmah dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan ruang lingkup yang lebih luas dan mengapresiasi ide-ide dan memahami al-Qur’an dari berbagai aspek.

C.   Konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
1.      Metode Tahlili
     Metode Tahlili adalah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai tata urutan dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-aspek yang ingin disampaikan. Misalnya menjelaskan al-Qur’an disertai aspek qiraat, asbabun nuzul, munasabah, balagah, hukum dll.
     Contoh kitab tafsir dengan metode tahlili adalah : Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya Qurtubi, Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qur’an al Karim karya at Tusturi. Berikut contohnya:
    QS. Al Ahzab ayat 30:
     Menurut ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis itu maka ungkapan pada ayat ini hanyalah andaikan dan tidak pasti terjadi. Dalam ayat lain QS. Az-Zumar ayat 65:
     
      Dan pada QS. Al-An’Am ayat 88:

Dan pada QS. Az-Zukhruf ayat 81:
2.      Metode Ijmali (Gllobal)
Metode ijmali adalah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan mengemukakan makna yang bersifat global dengan Bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Mufassir menjelaskan makna-makna pokoknya saja. Contoh mufassir Jalaluddin Al-Sayuti dengan kitab tafsirnya Tafsir Jalalain. Dan Muhammad Farid Wajdi dengan kitab tafsirnya Tafsir Al-Qur’an al ‘Adzim. Dan kitab At Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al Buhus al-Islamiyah.
3.      Metode Muqaran (komparatif)
Metode Muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan membandingkannya dengan ayat-ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun redaksi berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi SAW, perkatan sahabat atau tabi’in. di samping itu juga mengkaji pendapat ulama tafsir dan dengan membandingkan kitab-kitab tafsirnya. Bahkan tafsir dengan muqarin juga bisa dengan membandingkan al-Qur’an dengan kitab kitab samawi, injil taurat dan zabur.
4.      Metode Maudhu’I (thematic)
Metode maudhu’I adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu. Langkah-langkah mufassir dengan metode maudhu’I adalah sbb:
a.    Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b.    Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c.    Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).
d.    Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e.    Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.

D.   Analisis Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
Penerapan metode-metode tafsir di atas tidak bisa dipisahkan atau mengandalkan satu metode saja. Dengan kata lain masing-masing metode tetap akan dibutuhkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an karena mempermudah bagi mufassir untuk menarik atau menggali makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, menggunakan satu metode saja tentu hasilnya tidak akan maksimal. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan tafsir yang detail dan lengkap, semua metode tafsir mutlak diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belajar Dari Rumah

MEMAKSIMALKAN BELAJAR DARI RUMAH DALAM KETERBATASAN BDR atau belajar dari rumah muncul sebagai respon atas wabah Covid-19 yang melan...