Selasa, 26 November 2019

SIFAT TERPUJI DALAM AL-QUR'AN

SIFAT TERPUJI DI DALAM AL-QUR’AN


A.       Konsep Ikhlas, Murah Hati dan Toleransi dalam Islam
1.      Ikhlas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas menurut Bahasa artinya bersih dari kotoran. Sedangkan menurut istilah, ikhlas adalah kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap rido Allah semata dalam menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya dari hal-hal yang dapat merusak niat itu sendiri. Ikhlas berada dalam hati manusia sebagai tempat penanaman niat yang mengikat amal. Oleh sebab itu, ketika hati bersih, maka niat untuk hal-hal positif senantiasa terjaga dan terhindar dari kesia-siaan karena diabaikannya niat.
Allah swt berfirman dalam QS. Ghafir ayat 14:

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.

Dalam penjelasan ayat tersebut, beribadah yang sungguh-sungguh dengan ikhlas (membersihkan) dan memurnikan niat hanya untuk Allah swt. Tidak disertai niat untuk riya’ atau sum’ah.

2.      Toleransi
Tolerasni berasal dari Bahasa Inggris “Tolerance”, artinya membiarkan. Dalam Bahasa Arab disebut dengan tasammuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada. Badawi mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat.

Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya agama, ideologi dan ras.

Dalam toleransi, Allah swt dengan jelas memberikan petunjuk kepada Nabi SAW melalui firmannya. Antara lain dalam QS. Al-Kafiruun:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ. وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ.
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamakku.”
 Pada ayat tersebut, jelas bahwa, Allah swt memerintahkan kepada kita semua untuk bersikap toleransi, menghargai setiap perbedaan dan tidak memaksakan kehendak untuk diikuti oleh orang lain.

3.      Murah Hati
Dalam kamus besar bahasa Indonesia murah hati adalah suka (mudah) memberi; tidak pelit; penyayang dan pengasih; suka menolong; baik hati kebaikan hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan.
Sifat hati yang mulia dan hangat berupa kesdiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain dengan memberi secara limpah, dengan tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.
 Terkait dengan murah hati, Allah swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 272:
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”
B.       Tafsir Ayat-ayat tentang Ikhlas, Murah Hati dan Toleransi.
1.      Ikhlas
Terkait dengan ikhlas, terdapat penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an berikut:
a.      QS. Ghafir ayat 14:

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.

Kajian Tafsir:
1)      Tafsir Jalalain
Maksud dari memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari segala kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai keikhlasan ibadah kalian kepada Allah swt.
2)      Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan) penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal ini. Dalam hal ini, Ibnu Katsir memperkuat penjelasannya dengan hadits yang relevan berikut ini:
Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan ketaatan kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).
Selain itu, diperkuat lagi dengan hadis berikut ini:

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi', telah menceritakan kepada kami Al-Khasib ibnu Nasih, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam ibnu Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan diperkenankan. Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan doa dari orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk.

b.      QS. Ghafir ayat 65
هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Kajian Tafsir:
1)      Tafsir Jalalain
Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia) sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam).
2)      Tafsir Ibnu Katsir
Pada Tafsir Ibnu Katsir, ayat di atas ditafsir terlebih dahulu sepengal demi sepenggal kemudian ditafsir secara keseluruhan ayat.
Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang Maha lahir lagi Maha batin.
dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang wajib disembah) selain Allah” hendaklah seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu Jarir dan Abu Usamah.

Surat Al A’raf ayat 29
Kajian Tafsir:
1)      Tafsir Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut:
(Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup kembali.

2)      Tafsir Al Mishbah
Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki penafsiran sebagai berikut:
Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah, "Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masing-masing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa, kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."

3)      Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang berbunyi:
Yang berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini ditafsirkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan berada pada jalan yang lurus dalam segala perkara.

Potongan ayat ini ditafsirkan dengan penjelasan sebagai berikut:
“Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”
Selanjutnya, potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi:
كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
Yang berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pula) kalian akan kembali (kepada-Nya)

d.      Surat Az Zumar Ayat 11
1)      Tafsir Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa penafsiran dari memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ialah murni dari perbuatan syirik.
2)      Tafsir Al Mishbah
Dalam tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tersebut dijelaskan bahwa penafsiran ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan “aku diperintahkan untuk meyembah Allah dengan penuh ikhlas dan tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau pamrih”
3)      Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, dijelaskan bahwa pemaknaan atau penafsiran atas ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan bahwa “sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya”

2.      Toleransi
Terkait dengan toleransi, terdapat penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana Allah swt berfirman:
“Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an”.
Maksudnya, di antara mereka yang kamu diutus kepada mereka, hai Muhammad, ada yang beriman dengan Al-Qur’an ini, dia mengikutimu dan mengambil manfaat dengan apa yang kamu diutus dengannnya.

Dan firman Allah berikutnya:
“Dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadannya.”
Bahkan dia mati dalam keadaan seperti itu dan dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula.

Dan dalam firman Allah berikutnya:
“Dan Rabbmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Maksudnya, Allah lebih mengetahui siapa yang berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk. Dan siapa yang berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allahlah yang Maha Adil yang tidak berbuat zalim, akan tetapi Allah Memberi masing-masing sesuai haknya, Maha Suci Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi dan Maha Bersih, tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Lebih lanjut Allah mengajarkan manusia tentang pentingnya toleransi melalui firman-Nya dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan sebagai berikut:
“(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada lafal ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf atau pun Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua kondisi tersebut.”
Adapun menurut Quraish Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna dari ayat tersebut ialah ” Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.”

3.      Tafsir ayat-ayat tentang Murah hati 
Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 272 yang berbunyi :
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan memberi sedekah kepada kaum Musyrikin.” (Diriwayatkan oleh An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-Thabrani dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pernah melarang umat islam pada saat itu untuk bersedekah kecuali kepada sesame muslim. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan supaya memberi sedekah kepada semua orang.





METODE PENAFSIRAN AL-QUR'AN

PENDEKATAN DAN METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN

A.   Konsep Tafsir Bi al Ma’tsur, Tafsir Bi al-Ra’yi, Tafsir Isyari
1.      Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan pada penjelasan-penjelasan al-Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada Sunnah, hadits maupun atsar, bahkan sebuah ayat al-Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain. Tafsir bi al-Ma’tsur disebut juga Tafsir bi al-Riwayah karena didasarkan pada periwayatan-periwayatan.
Pendekatan Tafsir bi al Ma’tsur:
a.      Penafsiran ayat dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ayat al-Qur’an ditafsirkan oleh ayat setelahnya atau bisa juga berada di surat yang berbeda. Misalnya, pada surat ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tenang ketauhidan Allah swt, ditafsirkan oleh ayat kedua, ketiga dan keempat. Ayat pertama juga ditafsirkan oleh ayat lain pada surat yang berbeda, yaitu QS. Al-Hasyr ayat 22-24:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (22)
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (23)
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ(24)
Artinya :
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).
b.      Penafsiran Ayat Al-Qur’an dengan Hadis Nabi SAW
Ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak bersifat mujmal (global), oleh sebab itu butuh untuk ditafsirkan. Contoh:
QS. Al-Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku’
Ayat tersebut ditafsirkan oleh hadis berikut:
Artinya: Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan orang yang lebih tua di antara kalian menjadi imam.
c.      Penafsiran ayat al-Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi SAW.
Keterangan sahabat-sahabat Nabi SAW dipakai menjadi rujukan karena mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi SAW dan sangat memahami situasi dan kondisi ketika al-Qur’an diturunkan.
Contoh, tafsir terhadap QS. Al-Baqarah ayat 3:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…
Menurut Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalhah bahwa tafsir dari kata yukminuuna adalah yushoddiquuna (membenarkan). Dan menurut Makmar diriwayatkan dari az-Zuhri yang dimaksud yukminuuna adalah iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Jakfar Ar-Razi  dari Rabi’ bin Anas yang dimaksud dengan yukminuuna adalah yakhsuauna artinya takut.
Kitab tafsir bil-Ma’tsur antara lain: Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al Adzim karya Ibnu Katsir.

2.      Tafsir Bi al-Ra’yi atau Tafsir bi Al-Dirayah
Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar. Maka, tafsir bi al-Ra’yu adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalaran atau ijtihadnya, dan nalar dijadikan sebagai sumber utamanya.
Tafsir bi al-Ra’yi memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelbihannya antara lain:
a.      Mempunyai ruang lingkup yang luas
b.      Dapat mengapresiasi berbagai ide,
c.       Melihat dan memahami al-Qur’an secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek.
Dan kelemahan tafsir bi al-Ra’yi adalah :
a.      Memberikan kesan Qur’an tidak utuh dan tidak konsisten karena dijadikan sebagai petunjuk ayat bersifat parsial
b.      Menimbulkan kesan subyektif yang dapat menimbulkan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu
c.       Memungkinkan masuknya cerita-cerita israiliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.
Mufassir dengan Ra’yi di antaranya adalah Abdul Qosim Mahmud al-Zamakhsari, penafsiran nalarnya didukung oleh dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-Qur’an. Akan tetapi dia tidak terikat dengan riwayat, ketika penafsirannya didukung adanya riwayat dia akan mengambilknya dan ketika tidak ada riwayat dia tetap melakukan penafsirannya.
Mufassir lainnya adalah Sayyid Qutub dengan kitab tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an, pada saat menjelaskan al-Quran Surat al-Fatihah ayat 4;
Kata-kata “yang menguasai atau penguasa” membayangkan darjah kekuasaan paling tinggi. “Hari pembalasan” ialah hari penentuan balasan di akhirat. Banyak orang yang percaya uluhiyah Allah dan percaya bahwa Allah yang menciptakan alam semesta, akan tetapi mereka tidak percaya kepada hari pembalasan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS. Az-Zumar ayat 28:

          Kemudian dalam QS. Qoof ayat 3:


Dari contoh tafsir di atas, menunjukkan bahwa mereka (mufassir) tidak meninggalkan riwayat dan mereka tidak menggunakan nalar semata. Kitab tafsir bi al-Ra’yi lainnya adalah : Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin Ar Razi dan Tafsir Anwar at Tanzil wa Asrar at Ta’wil karya al-Baidhawi.
3.      Tafsir Isyari
Menurut Bahasa berasal dari kata asyaraa-yusyaari-isyaaratan artinya memberi isyarat/ tanda, menunjukkan. Menurut istilah artinya: upaya untuk menjelaskan kandungan Qur’an dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.
Menurut Subhi al-Shalih, tafsir Isyari adalah menjelaskan kandungan al-Qur’an melalui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Menurut Quraisy Shihab pada tafsir Isyari terdapat upaya penarikan makna ayat didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran, hal itu dilakukan tanpa mengabaikan makna secara lafazh.
Syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah:
a.      Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
b.      Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
c.      Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
d.      Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
e.      Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.
Contoh; Al Alusi menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 238:
Al Alusi menafsirkan kata Shalat Wustha dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut:
Al-Alusi dalam hal ini melihat shalat wusta dengan pendekatan sufistik.

B.   Analisis Klasifiksi dan Penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, Tafsir bi al Ra’yi, Tafsir Isyari.
     Tafsir bi al Ma’tsur disepakati oleh ahli tafsir sebagai rujukan yang paling kuat. Karena tafsir jenis ini menghadirkan sumber-sumber yang diyakini sebagai sumber utama karena didasarkan pada ayat ayat al-Qur’an, hadis nabi SAW dan riwayat para sahabat yang semasa hidupnya dengan Rasul. Sedangkan tafsir bi al-Ra’yi (nalar) dan isyari (isarat/tanda) memiliki kelemahan-kelemahan, yakni adanya subjektifitas dari mufassir, dan tidak adanya control yang membatasi pemikiran atau nalar mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi tafsir jenis ini memiliki kekhasan dalam menyajikan galian-galian hikmah dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan ruang lingkup yang lebih luas dan mengapresiasi ide-ide dan memahami al-Qur’an dari berbagai aspek.

C.   Konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
1.      Metode Tahlili
     Metode Tahlili adalah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai tata urutan dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-aspek yang ingin disampaikan. Misalnya menjelaskan al-Qur’an disertai aspek qiraat, asbabun nuzul, munasabah, balagah, hukum dll.
     Contoh kitab tafsir dengan metode tahlili adalah : Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya Qurtubi, Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qur’an al Karim karya at Tusturi. Berikut contohnya:
    QS. Al Ahzab ayat 30:
     Menurut ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis itu maka ungkapan pada ayat ini hanyalah andaikan dan tidak pasti terjadi. Dalam ayat lain QS. Az-Zumar ayat 65:
     
      Dan pada QS. Al-An’Am ayat 88:

Dan pada QS. Az-Zukhruf ayat 81:
2.      Metode Ijmali (Gllobal)
Metode ijmali adalah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan mengemukakan makna yang bersifat global dengan Bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Mufassir menjelaskan makna-makna pokoknya saja. Contoh mufassir Jalaluddin Al-Sayuti dengan kitab tafsirnya Tafsir Jalalain. Dan Muhammad Farid Wajdi dengan kitab tafsirnya Tafsir Al-Qur’an al ‘Adzim. Dan kitab At Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al Buhus al-Islamiyah.
3.      Metode Muqaran (komparatif)
Metode Muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan membandingkannya dengan ayat-ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun redaksi berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi SAW, perkatan sahabat atau tabi’in. di samping itu juga mengkaji pendapat ulama tafsir dan dengan membandingkan kitab-kitab tafsirnya. Bahkan tafsir dengan muqarin juga bisa dengan membandingkan al-Qur’an dengan kitab kitab samawi, injil taurat dan zabur.
4.      Metode Maudhu’I (thematic)
Metode maudhu’I adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu. Langkah-langkah mufassir dengan metode maudhu’I adalah sbb:
a.    Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b.    Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c.    Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).
d.    Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e.    Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.

D.   Analisis Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
Penerapan metode-metode tafsir di atas tidak bisa dipisahkan atau mengandalkan satu metode saja. Dengan kata lain masing-masing metode tetap akan dibutuhkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an karena mempermudah bagi mufassir untuk menarik atau menggali makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, menggunakan satu metode saja tentu hasilnya tidak akan maksimal. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan tafsir yang detail dan lengkap, semua metode tafsir mutlak diperlukan.

Belajar Dari Rumah

MEMAKSIMALKAN BELAJAR DARI RUMAH DALAM KETERBATASAN BDR atau belajar dari rumah muncul sebagai respon atas wabah Covid-19 yang melan...